Duduk dipojok pasar Jatingaleh, seorang nenek dengan pakaian kusut dan penudung kepala yang sudah tampak kusam. Matanya tertutup, bibirnya sesekali menelan ludah, lehernya terantuk – terantuk menyiratkan kelelahan fisiknya, mungkin semalaman nenek itu tak bisa tertidur pulas karena dinginnya malam sehabis hujan deras melanda kota Semarang atau termungkinkan oleh usianya yang sudah lanjut membuat syaraf tidurnya sudah tak mampu dikontrol lagi hingga mengalami syndrome tidur, matanya sulit terpejamkan hingga ada saja aktivitasnya dimalam hari sebaliknya dipagi hari bahkan tengah senja orang yang usia lanjut bisa saja tertidur ditengah aktivitas orang lain, rasa iba seringkali muncul saat melihat fisik mereka yang renta, matanya yang rabun, kepikunan yang tak terelakkan, dan yang lebih memprihatinkan lagi bila dalam satu keluarga tidak memberikan perhatian dan kasih sayang tulus buat mereka.
Didepan duduknya nenek, tersedia batok kelapa yang isinya beberapa uang recehan seratus limaratus rupiah, rupanya batok kelapa itu dipakai untuk meminta-minta pada orang-orang yang lalu lalang di pasar Jatingaleh.
Saat nenek terbangun dari tidurnya, bibir nenek masih menelan-nelan ludah mungkin tenggorokkannya kering dan terasa haus namun didekatnya tidak terdapat gelas atau botol minuman untuk persediaan minum si nenek , kedua tangan nenek mulai terangkat agak keatas dada “ nyuwun seikhlasnya Nak, Bu, Pak “, pintanya pada orang-orang yang lalu lalang didepan si nenek “klinting klinting, klinting”, “matur nuwun, Gusti Allah ingkang mbales nggih”, ucap nenek dengan suara yang tidak begitu jelas, beberapa uang receh masuk dibatok kelapa, tiba-tiba si nenek menggeserkan tubuhnya ke sebelah kiri, capekkah ? ahh, ternyata nenek itu sudah tidak bisa berjalan, ada rasa trenyuh saat mengamati perilaku nenek ini. Bagaimana mungkin seorang nenek renta yang sudah tidak mampu berjalan masih harus mencari sesuap nasi, keinginannya sendirikah ? atau desakan orang lain yang memperalat nenek untuk mendapatkan belas kasihan dari banyak orang ?, jika perkiraan yang kedua benar betapa tidak manusiawinya si pemeralat ini, tidak punya hatikah, atau karena desakan ekonomi ?.
Ternyata perkiraanku yang terakhir hampir terbenarkan, manakala menyaksikan seorang pria paruh baya, dengan rambut keriting, kulit sawo matang, tubuh yang agak gempal berjalan menghampiri nenek dengan diikuti seorang wanita muda memakai baju daster yang masih tampak baru, “ siapakah mereka?, anak dan menantunyakah?”, kedua orang ini berjongkok di samping nenek, si wanita mengambil batok kelapa dan menghitung uang yang ada didalamnya kemudian memindahkannya kebungkusan plastik hitam, si pria beranjak untuk membopong nenek dan dibawanya sinenek ke mulut gang dekat pasar, “siapakah mereka ?”, rasa penasaran membuatku memasuki warung makan dekat pasar, sembari makan siapa tahu ada informasi yang aku dapat tentang nenek itu dari pemilik warung. “Ibu, minta dibuatkan nasi rames dan teh hangat ya”, ”njih Mbak” jawab si Ibu ramah, “Oya Bu sudah berapa lama Mbah yang dipojok pasar itu meminta-minta dipasar Jatingaleh ? dan kedua orang pria wanita yang baru saja membawa Mbah itu, siapanya Mbah itu ?”, “Ooo, orang itu saudaranya Mbah Nem, dia nggak punya siapa-siapa lagi suami dan anak satu-satunya sudah lama meninggal, kalau mangkalnya sich sudah lama kok Mbak, tapi sering pindah-pindah tempat nggak hanya dipasar Jatingaleh saja, ada apa toch Mbak ? kok menanyakan Mbah Nem“, “nggak ada apa- apa Bu, trenyuh aja lihat wajahnya Mbah itu, kasihan ya Bu sudah sepuh (tua) masih harus bekerja meminta-minta”, ya gimana lagi Mbak wong saudaranya itu juga orang susah jadi ya nggak ada yang diandalkan”, ahhh.. sungguh tak tega mendengar informasi Ibu pemilik warung tentang kondisi Mbah Nem yang sebenarnya.
Keadaan negeri ini memang belum berpihak pada wong-wong cilik, manakala sesuap nasi masih harus diperjuangkan oleh kaum papa, yang di atas sana seakan menutup mata pada kemiskinan yang melanda negeri ini. Pengemis, pemulung, anak jalanan, pengamen, penganggur-penganggur terselubung, menjadi potret betapa kemiskinan itu belum tersentuh oleh pemimpin-pemimpin negeri ini. Namun, yang membuatku tersadarkan dan belajar bercermin pada seorang Mbah Nem adalah bahwa hidup ini tidak mudah dan harus tetap survive. Disekitarku banyak Mbah Nem – Mbah Nem yang lain, mereka tetap bertahan hidup hanya untuk mendapatkan “sesuap nasi”.
By : Saptorini Retnosari
Januari 2007
Rabu, 29 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar