Senja baru saja berlalu, namun Bapak belum juga beranjak dari kursi goyang peninggalan Eyang Putri. Entah sudah berapa ratus kali Bapak menikmati kursi goyang yang terletak disudut teras rumah, sepertinya ada kenangan yang ingin diingatnya kembali bersama kursi goyang kesayangannya.
Jam didinding menunjukkan pukul 21.00 WIB, “biasanya Bapakmu sudah berada didepan televisi untuk nonton berita malam ya Oris”, ujar Ibu kepadaku, “ mungkin Bapak masih ingin menikmati udara malam Bu”, sahutku tak acuh. “Mengapa Ibu nggak nemenin Bapak ngobrol ? Siapa tahu Bapak ingin berduaan sama Ibu untuk bernostalgia mengenang masa muda dulu, Oris…Oris, kamu ini sukanya menggoda Ibumu, kamu kan tahu kalau Bapakmu senang menyendiri akhir-akhir ini “.
Diam-diam aku beranjak dari sofa untuk melihat Bapak. Aku mencoba mengamati wajahnya dari jendela depan, Bapak memang sudah tua ada gurat – gurat wajah yang menyisakan ketampanan, rambutnya yang tipis memulai memutih menunjukkan usia Bapak yang sudah lanjut. “ Bapak, apa yang sedang engkau pikirkan ?” seru bathinku, memang masih banyak harapan Bapak yang belum terwujud dan ada peristiwa-peristiwa yang membuat Bapak prihatin dengan kedua putrinya; Mbak laras yang cantik, pintar, sukses dengan kariernya namun kesulitan dalam hal menentukan pendamping hidup. Aku yang lebih supel, terbuka, banyak teman, aktif dalam organisasi, selalu mengkritisi terhadap hal-hal yang irasional, dan mengikuti trend perkembangan global ternyata telah gagal menyelesaikan kuliah. Hutang teman-teman Bapak yang rata-rata berjumlah puluhan juta sudah lima tahun ini belum juga dikembalikan oleh mereka. Masalah-masalah inilah yang membuat Bapak terlihat muram dan sering menyendiri dihari tuanya, sepertinya ada ekspresi kekecewaan pada diri Bapak.
Tak terasa malam kian larut, bintang –bintang dilangit mulai memancarkan keindahannya, dan udara malam yang dingin menyentuh pori-pori kulitku, namun udara malam ini tak melunturkan niat Bapak untuk beranjak dari kursi goyangnya, kulihat Ibu keluar dari kamar menuju teras dan duduk di dekat Bapak untuk menemaninya ngobrol.
Entah apa yang mendorong niatku mengetahui sesuatu yang sedang dibicarakan Bapak Ibu, pelan-pelan kulangkahkan kaki ke pintu depan untuk mendengarkan apa yang sedang mereka perbincangkan. Baru saja kujongkokkan badanku tiba-tiba terdengar suara Bapak yang cukup mengejutkanku , “ Bu, diusiaku yang sudah tua ini masih ada yang aku sesali, dulu aku terlalu keras mendidik Laras dan Oris, banyak aturan-aturan kaku yang membuat mereka harus mematuhinya, kalau aku rasa-rasakan Laras maupun Oris begitu jauh dan takut bila harus berbicara dengan aku, sekarang mereka tumbuh menjadi pribadi yang kaku, kurang percaya diri dan sepertinya kurang suka bergaul dengan lawan jenis. kalau dilihat apa sich kekurangan laras dan Oris? Laras yang cantik, pintar, sukses dengan kariernya tapi sampai sekarang belum mau menikah , Oris yang terlihat lebih terbuka, kritis, idealis, aktif di organisasi ternyata harus gagal studynya hanya karena masalah pekerjaan dan berseberangan dengan dosen pembimbing skripsinya. Aku menyesal Bu, mengapa dulu aku terlalu keras dan kaku mendidik mereka, seandainya aku lebih arif mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri”. “ ahh Bapak mengapa melulu memikirkan masalah itu ?... sudahlah Pak, jangan terus disesali permasalahannya bukan hanya kesalahan Bapak semata, setidaknya Ibu kan juga andil dalam membentuk perilaku Laras & Oris, yang terpenting saat ini bagaimana tanggung jawab kita untuk lebih memperhatikan, mendukung, dan menumbuhkan rasa percaya diri pada Laras dan Oris untuk dapat melangkah ke depan lebih optimis, Ibu pikir belumlah terlambat. Saat ini Ibu hanya bisa berdoa agar Laras segera menemukan pendamping yang seiman dan setia begitu juga dengan Oris agar segera membereskan studynya tanpa harus mengesampingkan pekerjaannya, terkesan tak patuh pada aturan, dan berseberangan terus dengan dosen pembimbingnya”.
Tanpa terasa air mataku menetes mendengarkan pembicaraan Bapak Ibu , kupalingkan tubuhku menuju ke kamar tidur untuk merenungkan penyesalan-penyesalan Bapak, meresapi harapan-harapan Ibu pada mbak Laras dan aku. Aku tersadar bahwa akulah salah satu penyebab penyesalan Bapak dan aku jugalah salah satu penyebab mengapa Bapak suka muram dan sering menyendiri disudut teras....”ahhh Bapak seandainya engkau tahu aku juga sedih melihat kegagalanku dalam study, betapa aku menyesal telah menyakiti hatimu, sungguh Bapak !!, aku sungguh menyesal.
Mataku menatap benda-benda yang ada dikamar semuanya tertata rapi, buku-buku koleksiku dan buku-buku hadiah ulang tahun dari mantan pacar masih tersusun rapi dirak meja yang terbuat dari kayu jati, sedangkan dimeja rias ada dua bingkai foto berukuran sedang telah terpampang semenjak aku duduk dibangku SMA, satu bingkai foto disudut kanan adalah foto Bapak dengan jas hitamnya dan Ibu berkebaya krem,sungguh tampak serasi,satu bingkai lagi adalah foto Mbak Laras bersamaku. Setiap kerabat atau teman yang melihat foto-foto itu pasti menilai bahwa keluargaku adalah keluarga yang bahagia, memang tak ada salahnya penilaian mereka, kebahagiaan yang mereka nilai memang ada dan begitu terpancar diwajah kami, namun kebahagiaan itu adalah kebahagiaan semu. Bapak, Ibu, Mbak Laras, dan aku mempunyai cerita, jalan hidup, dan rahasia keluarga yang tidak semua orang harus tahu.
Bunyi kentongan peronda malam menyadarkan aku untuk tidak terus menguras otak membuka memory masa lalu, segera kumatikan lampu kamar dengan harapan aku bisa tertidur pulas tanpa dihantui kegelisahan yang sering muncul dihari-hari ini, “ Gusti, berikan ketenangan dan kesejukan hati saat dimana anakMU merindukan kedamaian kasihMU, dan berikan jalanMU untuk bisa menyenangkan hati kedua orangtuaku”.
Dalam tidurku yang terlelap kelelahan, aku bermimpi kedua tangan Bapak menggandeng Mbak Laras dan aku, genggaman yang begitu hangat dan kuat dari seorang Bapak, mata Bapak menatap kami dengan penuh kasih, ada makna yang terucap dibalik tatapan Bapak. Kupalingkan kepalaku untuk mencari Ibu, ternyata Ibu duduk terdiam disofa rumah, Ibu memandangi kami dengan senyum lembutnya. Aku tidak ingin genggaman Bapak terlepas, “Bapak, Bapak, aku sayang Bapak, maafkan anakmu yang belum bisa membuatmu bahagia,.......Bapak, Bapak, aku sayang Bapak, aku ingin membuatmu bahagia dengan membereskan studyku, maafkan aku Bapak”, dengan tersedu-sedu aku terbangun dari mimpi malamku......”ahh, aku memimpikan Bapak, mudah-mudahan ada saat terbaik aku bisa menyenangkan hati Bapak Ibu”.
By : Saptorini Retnosari
Senin, 17 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar